Kelotok... itu sebutan untuk sebuah Perahu bermesin tradisional yang terdapat di pinggiran Kalimantan Timur, tak banyak keistimewaan dari kelotok, bahkan bisa dibilang tak ada keistimewaannya jika diperhatikan secara kasat mata, kecuali bisa menyeberang,
hanya itu saja. Kelotok merupakan sarana angkutan penyeberangan tradisional yang ketika itu dapat kami temui di sebuah pelabuhan kecil dg nama Kampung Baru di Kota Balikpapan, Kaltim. Kapal ini digunakan sebagai angkutan penyeberangan oleh masyarakat antara Balikpapan dengan Kabupaten Penajam Paser Utara dan begitu sebaliknya. Dimana setiap harinya hilir mudik antara daratan yang terpisah ini disambungkan oleh kelotok sederhana ini.Tak banyak yang memperhatikan memang, namun roda ekonomi sebenarnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan kelotok ini. Dimana selain sebagai sarana penyebrangan manusia, kelotok juga berfungsi sebagai sarana penyeberang barang-barang bernilai ekonomi lainnya apapun jenisnya. Mulai dari kecil hingga besar, yang pasti asal bisa masuk kelotok, maka itu bisa diangkut kedaratan seberang.
Ketika itu tim kami hendak menyeberang dari Balikpapan menuju Penajam Paser Utara, setelah tiba dipelabuhan yang ditutupi oleh pasar tradisional pada bagian depan, maka kami pun tiba dipelabuhan kecil tersebut, terdapat dua terminal angkutan, salah satunya merupakan terminal Speed Boat yang juga terlihat berjejer menawarkan jasa yang sama ke daratan Seberang. Namun jika diperhatikan, hanya perlu sekilas untuk mempelajari sistem pengangkutan oleh Speed boat, Jika telah terisi 5 orang maka perjalanan pun bisa dilakukan,akan tetapi tidak bisa membawa barang bawaan yang lebih banyak kecuali tas dan keranjang saja.
Karena Barang bawaan kami tak seperti yang diperkirakan, maka kami lebih memilih kelotok. Hanya dengan 7000 Rupiah saja per-orang kami sudah bisa menikmati penyeberangan dengan kelotok ini. Harga yang jauh lebih murah 50 % dari harga yang ditetapkan oleh jasa speed boat. Sempat kami perhatikan bagian penumpang yang berada pada bagian dalam kapal ini, tempat duduk penumpang kapal hanya berupa lembaran balok kayu yang disilang-silangkan berjejer antara 2-3 balok sebagai tempat duduk, sehingga terlihat lebih mirip dengan bangku yang terdapat dalam angkutan kota, Cuma bedanya pada kelotok tak terdapat busa yang melapisi. Satu silang balok papan memuat 4-5 orang. Dan jika ada tiga silangan balok yang dideretkan maka pada bagian utama kelotok dapat memuat 15 hingga 17 orang.
Pada bagian belakang, sang nahkoda kapal memiliki tempat yang lebih tinggi, dimaksudkan untuk bisa melihat arah buritan pada bagian depannya. Dan pada bagian nahkoda ini pun disetting untuk tempat duduk penumpang dengan posisi seperti huruf “L”, serta pada bagian belakang kapal juga disediakan beberapa balok untuk tempat duduk. Jadi jika dijumlahkan, kurang lebih ada sekitar 25 orang yang bisa diangkut oleh Kelotok untuk sekali penyeberangan. Pada Bagian utama kapal, panas terik matahari sedikit terkurangi dengan tenda berbahan plastik yang sengaja dipasang untuk penumpang yang duduk pada badan utama kapal tersebut. Sehingga kalaupun masih terasa panas, namun bisa ditarik sisi positifnya dari inisiatif awak kapal yang memasang tenda untuk mengurangi terpaan panas matahari.
Merakyat, itu kesan yang bisa didapatkan ketika menaiki kelotok ini. Tak jauh berbeda dengan suasana pasar, penumpang kelotok Rata-rata membawa barang dalam jumlah yang tak sedikit, seperti bahan makanan, alat-alat kebutuhan lainnya hingga sepeda motor. Sehingga isi kelotok terlihat sangat berdesak-desakan antara barang bawaan yang bergabung dengan orang yang membawanya. Umumnya barang bawaan inilah yang membuat orang-orang lebih memilih kelotok, disamping harga yang relatif lebih murah daripada menggunakan speed boat yang hanya bisa membawa barang dengan kuota tak terlalu banyak, Kelotok dapat mengatasi semua kendala barang bawaan yang banyak tersebut dengan harga yang jauh lebih murah.
Suasana perjalanan cukup mengasyikkan disamping juga mendebarkan, karena rata-rata kelotok seakan berjalan miring, tak hanya yang kami tumpangi, namun kelotok lain yang berpapasan dengan kami pun mengalami hal serupa. Kurang jelas apa alasannya, mungkin karena arus laut ataupun karena barang bawaan yang terlalu banyak. Sehingga beban terkadang berat sebelah karena penumpang rata-rata sembarangan meletakkan barang tanpa diatur penempatannya terlebih dahulu oleh awak kapal kelotok ini.
Cukup 15 menit, tibalah kami dipelabuhan seberang, kabupaten Penajam Paser Utara. Dan disana telah banyak penumpang lainnya yang mengantri dan menunggu kelotok untuk menyebrang ke Balikpapan.
Perjalanan yang mengesankan memang, sehingga terlontar seucap kata dari seorang teman, “ Dahsyat memang Indonesia... Tak ada yang seperti ini di Australia..” . Memang jika dipikirkan, menumpang kelotok adalah suatu perjalanan yang jarang bisa dinikmati oleh orang-orang seperti kami. Karena kesempatan untuk berada ditempat-tempat seperti itu adalah sebuah moment yang tak bsa selalu kami dapatkan. Namun yang bisa dilihat dari keberadaan kelotok adalah betapa masih di idolakannya angkutan tradisional asli Kalimantan Timur ini oleh sebagian besar masyarakat. Angkutan tradisional dari tradisi lama yang tak pernah hilang dari masyarakat. Walaupun tersaingi oleh angkutan yang lebih moderen laiknya speed boat. Namun kelotok masih memiliki tempat tersendiri di hati masyarakat. Terbukti tak pernah berhentinya orang yang ingin menggunakan jasa kapal tradisional ini. Dari antrian diterminal saja dapat terlihat antusias masyarakat yang selalu ingin menggunakan jasa kelotok ini, walaupun tak jauh dari kelotok bersandar speed boat yang juga menawarkan jasa serupa.
Disamping itu, ketika beradu sesak dengan penumpang lainnya ditengah terik matahari, ada sebuah moment yang istimewa yang selalu terjadi, diantara sesama penumpang kelotok dapat terjalin sebuah keakraban yang luar biasa selama waktu tempuh 15 menit tersebut. Ada saja hal-hal yang dibicarakan walaupun tidak saling mengenal, gelak canda tawa dapat menjadi sebuah keakraban bagi para penumpangnya. Sehingga kesenjangan sosial terlihat tak pernah berlaku bagi para manusia-manusia ketika sama-sama berada diatas satu kelotok. Dan mungkin hal itu yang membuat para penumpang ini selalu betah menggunakan jasa penyeberangan tradisional ini.
Sebuah tradisi yang mungkin tak akan pernah lekang oleh waktu dan modernitas yang semakin melesat bisa dilekatkan pada kelotok ini, sama dengan daerah-daerah lain seperti Jakarta yang mempertahankan Andong sebagai sarana angkutan tradisionalnya. Seperti apapun kemajuan zaman, namun keberadan Andong tak pernah ketinggalan oleh masyarakat sebagai bagian dari jati diri mereka. Sehingga budaya tak hanya dilihat dari beberapa sisi saja, akan tetapi setiap keaslian yang terdapat didaerah tersebut merupakan sebuah budaya yang harus dilestarikan, karena tak ada jaminan untuk beberapa generasi mendatang, hal yang kita sebut budaya ini hanya menjadi sebuah hikayat ataupun prasasti karena tertinggalkan dan tak pernah lagi diperhatikan. Jadi sekarang tinggal bagaimana kita untuk bisa selalu mempertahankan hal-hal seperti ini. Untuk menjadikan tradisi dan budaya ini tetap selalu ada, agar tak menjadi sekedar nama dari sisa-sisa sejarah seperti Roma yang hanya bisa mempertahankan Reruntuhan Kota sebagai pembuktian bahwa itu merupakan bagian dari sejarah mereka.(red*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan bagi yang mau bertanya maupun yang ingin berkomentar...